Antara Inisiatif Atau Prediksi yang Salah

Antara Inisiatif dan Prediksi yang Salah - by Tim Gouw on Pexels.jpeg
Lampu Lalu Lintas – by Tim Gouw on Pexels

Ane menoleh ke arah SPBU di sebelah kanan. Sore itu, ane cukup ngebut ngebawa motor. Ketika itu, ane tengah mengharuskan diri untuk menjemput seseorang yang spesial. Sangat spesial, tentunya. Ente bisa menebak ikatan ane dengan orang itu seperti apa, bukan?

SPBU itu berada di salah satu persimpangan kota yang cukup ramai. Rutenya, kalo kita milih lolos, kita bakal nemuin gedung pusat perbelanjaan yang dulunya jadi primadona sebelum akhirnya: kedigdayaannya hancur setelah tingkat okupansinya; “direbut” mall baru di jalan Majapahit, Mataram sana.

Persimpangan yang dihiasi lampu lalu lintas merah kuning hijau itu, membuat ane cukup sebel mengantri. Ane pikir semua orang benci dengan yang namanya menunggu. Termasuk menunggu transisi lampu merah—sedikit sapa lampu kuning—ke lampu hijau itu. Selain itu, kebetulan ane lagi rada-rada sensitif sama lampu merah kala itu. Ada semacam sentimen negatif yang jadi pembahasan utama ane sama si “spesial” belakangan ini.

Berada di barisan paling depan, motor ane cukup siap buat mantatin pengendara-pengendara lain, tidak terkecuali; moge yang berada tepat di belakang ane. Diperhatikan, pengendara motor itu tampaknya juga sedang buru-buru. Spion ane lengkap, kiri-kanan, banget ngebantu ane ngeliat setiap gerak-gerik para “penikung” di sekitar ane.

Lagi-lagi ane menoleh kea rah SPBU itu. Ane liat ke arah speedometer motor ane, tepatnya bar indikator sisa bensin di tangki motor. “Ya, ini masi cukup buat ke Rumah Sakit Provinsi itu,” pikir ane, penuh prasangka. Dan, yaps! Lampu lalin sudah menghijau. Ane menolak untuk kalah star dari siapapun. Ya, siapapun! Sebelum transisi lampu dari merah ke hijau, motor langsung ane geber dengan buas.

Benar saja, jalan di depan Mataram Mall cukup macet—padat merayap—sampai persimpangan lampu lalu lintas selanjutnya. Oke, saat itu juga ane keluarin gaya andalan ane: tegakkan badan setegak-tegaknya, tarik nafas dalam, prediksi setiap kemungkinan yang bakal ane hadepin dengan situasi jalan raya saat itu. Baik, ini belum seberapa dibandingin kemacetan tiap sore yang mesti ane hadepin di jalan Laksda Adisujipto, Yogyakarta sana. Motor ane geber secara liar. Liar, namun terukur, tentunya.

Meliak-liuk liar, ane sudah bertemu lagi dengan lampu lalu lintas di depan. Sekitar 100 meter dari garis zebra cross lampu lalu lintas itu, ane bilang: “belum sekarang, sayang.” Ane mengkol niruin gayanya Marq Marqanto *eh Marquez maksudnya. Ane belok kanan dari persimpangan yang kalap itu.

Ada dua biji persimpangan lagi yang musti ane hadepin. Satu persimpangan KW tanpa lampu merah, dan satunya lagi—lagi-lagi—dengan lampu merah. Diulang, ketika itu ane memang sedang rada-rada sensitif terkait segala hal tentang lampu lalu lintas dengan tiga bohlam warna berbeda itu. Merah, kuning, kelabu, hijau, dan… Ah, persetanlah! Yang terpenting saat itu adalah: segera menemuinya. Orang spesial itu pasti sedang; sangat menunggu.

Persimpangan pertama terlewat dengan urutan gaya yang sama seperti sebelumnya. Begitu pula dengan lampu merah kedua. Lampu merah terakhir. Di sana, pengendara-pengendara lain sudah merebut jatah pole position ane yang pertama. Sial! Tapi, ane cukup keukeh buat meliuk-liuk garang. Meskipun tidak mendapat posisi paling depan, posisi ane masih cukup potensial merebut… hmm… maksud ane, mungkin lebih ke arah… Ya, penikung! Hahaha…

Singkat cerita, semua rintangan ane anggap sudah terlewati. Lampu hijau adalah bonus yang sekiranya pantas untuk semua orang dapatkan, terlepas dari kesabaran atau terburu-burunya yang proporsional. Bahkan, bagi orang yang memahami instingnya; kapan mesti bersabar dan kapan harus merasa tergesa. Begitu pikir ane pas di belokan paling terakhir—untuk masuk ke pekarangan tujuan ane dari awal. Ya, TKP penjemputan.

Tapi sialnya lagi, tampaknya orang yang ane cari tidak menunjukkan eksistensinya di sana. Ane berhenti di depan tembok bertuliskan “REKTORAT”. Tulisannya cukup besar untuk dibaca dari jarak beberapa meter. Ane rogoh kantong tas selempang motif batik ane buat ngegapai seunit feature phone andalan. Melalui aplikasi Wh*tsApp yang ada di HP mungil dengan hiasan tombol-tombolnya yang bukan QWERTY itu, ane coba hubungi kontaknya dengan penampakan photo profilnya, yang seperti biasa; manis!

“Hallo, assalamu’alaikum, kamu udah di mana?” suara lembut dari seberang, mendobrak ke dalam indera pendengar ane.

“Aku udah di depan, nih. Kampus B, kan?” dengan pola nafas yang terkontrol, ane tanya dengan singkat. Ane nggak mau kedengeran ngos-ngosan.

“Ih… bukaaaan….” begitu reaksinya, imut. Tapi, mengejutkan. Nyatanya, AKU mendarat di landasan pacu yang salah. (ara)

5 thoughts on “Antara Inisiatif Atau Prediksi yang Salah

Leave a reply to Ikha Cancel reply