Kuharap; Semua Temanku Patah Hati

Kuharap; Semua Temanku Patah Hati - 25 September 2017.jpg
pict: @highcalcium_

Kata curhat masih popular di kalangan remaja, bahkan pada rentang umur di atasnya pun sampai sekarang digunakan sebagai bahasa (terma) sehari-sehari. Jika kita sedang mencurahkan isi hati atau perasaan kepada orang lain tentang masalah personal, —biasanya orang terdekat— itu berarti, kita sedang ber-curhat ria.

Sebenarnya, tidak hanya kegundahan yang menjadi bagian sesi curhat-an, namun kegembiraan yang kita ceritakan pun termasuk dalam curhat, sebagaimana kepanjangannya, curhat merupakan singkatan dari curahan hati. Namun, karena stereotip yang kadung dianggap, jadilah istilah curhat ini lebih condong diartikan sebagai sesi: ketika seseorang menceritakan kegundahannya saja.

Septian (nama samaran), salah satu sohib ane tiba-tiba nyambangin ke kost-an. Seperti biasa, mukanya rada kurang bagus karena terlalu banyak detail kerut. Matanya, rada menghitam di sekitar kelopak mata. Kurang Tidur, katanya. Pipinya makin terlihat tirus. Alasannya, jarang kepingin makan.

Sudah beberapa minggu yang lalu ane nggak ketemu ini makhluk, karena dianya lagi sibuk-sibuknya ngurusin laporan magang. Kedatangannya tadi malam, ane anggap sebagai suatu kejutan. Bukan apa-apa, biasanya kedatangannya ke tempat ane selalu disertai dengan keceriaan dan kegilaan khasnya. Ini? 180 derajat berbeda. Selain mata panda dan tirusnya pipi, hanyalah raut murung yang menyertainya.

*  *  *

Pertemuan ane dengannya malam senin itu, tidak berlangsung dengan penuh serapahan canda seperti biasa. Melainkan, cerita “agak” serius dari Septian yang tumben-tumbenan; galau bertemakan cinta. Panjang-lebar, ia mengatakan bahwa dirinya sedang menghadapi dua pilihan yang dilematis. Menurutnya, kedua pilihan itu memiliki resiko yang sama beratnya, alias sama-sama tidak diinginkannya. Dan, otomatis, sesi curhat pun mulai tak terbendung masygul kala itu.

Mendengar ceritanya itu, ane cukup ragu-ragu dalam memberikan solusi strategis untuk mengatasi persoalan yang mengendap dalam diri seorang Septian —si model prototype periang ini. Mungkin, karena ane sendiri belum pernah diberi soal seperti situasi yang dihadapinya itu. Lebih tepatnya, “lembar soal” punya septian ini terlalu unik bagi ane pribadi. Dan, akhirnya, sesi curhat antara ane dengan Septian di kost-an belum dapat membeberkan titik temu.

Berpikirlah kami tentang tempat nongkrong yang pas untuk sesi curhat ini. Setelah beberapa opsi yang kami seleksi, jatuhlah pilihan ke “Grisse Café and Resto,” salah satu tongkrongan favorit ane di Jogja. Karena tempatnya memang nyaman dan nggak begitu ramai dengan pengunjung. Ane rasa tempatnya pas banget untuk berdialog baik serius ataupun sekadar becanda-canda seru.

*  *  *

Sesampainya di lokasi, seperti biasa, tidak sulit untuk mendapatkan meja. Malam itu, pengunjung tidak begitu ramai. Hanya obrolan-obrolan pengunjung lain yang terdengar jelas seperti saling bersahut-sahutan. Tidak ada keluhan sama sekali, setelah menunjuk meja mana yang akan diduduki, ane bareng Septian langsung melipir ke meja kasir untuk memesan menu sekaligus membayar pesanan.

Sembari menunggu pesanan datang di salah satu sudut cafe, Septian berinisiatif untuk me-restart ulang pembicaraan di kost-an tadi. Kali ini, ia terdengar lebih lepas dan mendetail dalam bercerita perihal masalah di pundaknya.

Tak lama berselang, Septian mendapatkan telepon dari Arif yang sedang bersama Bimo, salah dua teman kami juga. Mereka berdua menanyakan keberadaan Septian. Ketika mengetahui kami sedang berada di TKP, mereka menyusul dengan semanagat karena Septian meminta mereka datang. Tidak lain tidak bukan, untuk menambah personil pendengar curhatan “galau”-nya.

Datangnya Bimo dan Arif memaksa Septian untuk mengulang kembali runutan ceritanya. Sedang ane yang merasa sudah mendapatkan detail cerita yang lengkap, bertransformasi selayaknya “moderator forum”. Sebab merasa tak bisa memberi solusi yang pas, ane memilih untuk membantu memoderasi ketiganya. Septian selaku pemateri, sedangkan Bimo dan Arif menjelma sebagai audiens dalam sebuah presentasi. Ane menjaga alur agar tetap keep on the right track sampai ngejagain forum dari interupsi-interupsi yang mengganggu jalannya diskusi; (tundukan) notifikasi smartphone misalnya.

 

Musim Galau

Sebelum Septian, Arif dan Bimo (bukan nama sebenarnya) juga sempat mengutarakan kegalauannya. Sama-sama soal CINTA, hanya beda skema saja. Mungkin karena ada kesamaan itulah, jalannya diskusi terasa lebih serius. Semua bertatap muka satu sama lain. Kita saling mendengarkan, juga lebih berani untuk mengutarakan pendapat melalui frame masing-masing.

Entah kenapa, acara nongkrong malam itu begitu esensial bagi ane pribadi. Bahkan, di tengah keseruan mereka bertiga memainkan perannya itu, ane justru menyimpul-nyimpulkan “senang” yang bener-bener terbalik dari suasana pertemuan yang saat itu penuh kegalauan dan sendu —yang kali ini bersumber pada diri seorang Septian.

Kegalauan Septian, serta similiaritas “galau” Bimo dan Arif sebelumnya membawa kami hanyut sebagai empat orang yang mencoba menafsirkan asmara, memilih dalam dilema, dan beralih dari rapalan patah hati. Ya, dengan channel yang —lebih Manusia, musim galau ini membuat ane merasakan; kalau di baliknya, ada skema lain yang sedang merekonstruksi sebuah dogma. (ara)

11 thoughts on “Kuharap; Semua Temanku Patah Hati

Leave a comment